Ada renungan yang mendalam dalam riak air,
Tsunami mendera tanpa ampun, terjalh luka yang tak terbilang.
Di laut yang biru, kecepatan tercipta dalam wujud kemarau,
Gelombang biru berubah menjadi murka yang tak terkendali.
Air laut diterjang oleh kekuatan gelap,
Menghancurkan segala yang ada di hadapannya.
Desiran ombak menjulang tinggi,
Menelan semua ciptaan manusia dalam sekejap.
Berbondong-bondong manusia berhamburan mencari perlindungan,
Namun, kuasa tsunami sudah terlalu dahsyat.
Gelombangnya menghantam dengan kekuatan yang melampaui segala nalar,
Menghancurkan mimpi, harapan, dan kehidupan.
Di tengah kehancuran, terdengar tangisan pilu,
Tsunami, penyair kelam yang merenggut kehidupan.
Ia datang tanpa peringatan, tanpa sehelai kata tanda,
Menyapu bersih segala keluh kesah dan rindu.
Tak terbayangkan betapa besarnya rasa takut dan kehilangan,
Di hadapan gelombang dahsyat itu.
Tsunami, tragedi yang tak terlupakan,
Meninggalkan luka yang teramat dalam.
Namun, dari kejadian itu pula,
Harapan tumbuh di antara reruntuhan dan kepedihan.
Masyarakat bersatu, bekerja sama,
Membangun kembali apa yang telah terhempas.
Dalam ketegaran dan kebulatan tekad,
Perlahan namun pasti, mereka bangkit dari keterpurukan.
Semangat hidup muncul dalam kegelapan,
Melahirkan harapan yang tumbuh subur.
Puisi ini menggambarkan kekuatan alam yang tak terkendali,
Tapi juga menggambarkan kekuatan manusia untuk bangkit.
Tsunami, tragedi pahit,
Namun juga cermin dari kekuatan dan ketahanan manusia.